Rabu, 14 April 2010

Kebijakan Privatisasi Penyebab Krisis Air

Kebijakan Privatisasi Penyebab Krisis Air
(17 - user rating)
Rabu, 03 Februari 2010 12:38
Penyebaran Kelangkaan Air Di Dunia

Penyebaran Kelangkaan Air Di Dunia


Problem kelalaian dalam mengelola Sumber Daya Air (SDA) akan berakibat bencana. Wacana privatisasi SDA pun semakin nyata dirasakan masyarakat. Potret konflik SDA di berbagai daerah kian meluas. Cepat atau lambat, krisis kelangkaan air akan terjadi di Indonesia.

Sejak tahun 1998, 208 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Meluasnya konflik air di Indonesia, kerap memicu peluang Indonesia menjadi bagian dari negara yang mengalami kelangkaan air tersebut. Jika akar masalah tidak segera diselesaikan dan model pengelolaan air tidak segera diperbaiki, maka ancaman tersebut akan terjadi.

Air adalah sumber kehidupan. Satu definisi yang ironi terdengar saat ini. Di tengah giatnya pemerintah mendongkrak sumber dana dari sektor tambang dan perkebunan, pada saat yang sama sumber daya air kian menyusut. Untuk itu, persoalan air, harus dilihat sebagai fokus kajian persoalan lingkungan.

Praktek salah urus pengelolaan SDA justru bermuara dari kebijakan. Salah satu kebijakan yang menuai kecaman banyak pihak adalah Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UUSDA). Sejak lahirnya peraturan tersebut pada tanggal 19 Februari 2004, Peraturan Daerah (Perda) yang terkait privatisasi air kian menjamur. Betapa tidak, beberapa pasal dalam peraturan tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.

Krisis Air Yang Berlangsung Secara Terus - Menerus Di Afrika
Krisis Air Yang Berlangsung Secara Terus - Menerus Di Afrika
Persoalan tersebut justru menuai konflik baru, di tengah runtuhnya kedaulatan rakyat atas air oleh swasta selama ini. Selain itu, agenda ini justru didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Parahnya, UUSDA ini lahir sebagai bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank.

Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dicermati dari UUSDA tersebut. Pertama, UUSDA membuka peluang sebesar-besarnya terhadap privatisasi, baik itu yang dilakukan oleh perorangan maupun perusahaan swasta. Privatisasi SDA dengan mudah dapat diperoleh hanya dengan mengantongi izin pemerintah. Parahnya, praktek perizinan selama ini korup dan menyampingkan hak masyarakat.

Melalui privatisasi ini, maka jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak tersebut ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini, World Bank justru menyatakan “Manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan “ partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan”. (World Bank, 1992).

Menurut World Bank, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah “harga pasar” dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Secara singkat, Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air.

Krisis air menjadi masalah yang semakin mengancam umat manusia
Krisis air menjadi masalah yang semakin mengancam
umat manusia
Kedua, hak masyarakat sekitar hutan yang selama ini mengambil air dari sumber air di wilayahnya kian terancam. Mereka harus rela membagi Air yang selama turun temurun mereka ambil secara gratis untuk kepentingan swasta. Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka pun harus membayar, tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Fakta hari ini menunjukkan, pemerintah daerah kerap mendongkrak pendapatan asli daerahnya (PAD) ketimbang kebutuhan masyarakatnya. Dalam hal ini, semakin menunjukkan adanya legitimasi Pelanggaran HAM atas rakyat oleh negara.

Betapa tidak, pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB dalam komentar umum No.15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah.

Ketiga, ambiguitas peraturan perundang-undangan selama ini kerap menuai penafsiran beragam. Dalam UUSDA, kemungkinan penafsiran lebih diarahkan untuk memperbesar peluang pemberian hak guna usaha atas air. Sikap reaktif pemerintah tersebut telah memunculkan kasus di berbagai daerah, misalnya saja kasus Perda retribusi air Kab Mojokerto Jawa Timur, kasus kelangkaan air untuk irigasi sawah petani akibat usaha bendungan milik swasta di Karawang Jawa Barat, dan lain sebagainya. Di sisi lain, konflik petani Kedung Ombo Jawa Tengah setidaknya menjadi bukti, bahwa usaha swastanisasi tersebut menyengsarakan rakyat.

Minggu, 07 Maret 2010

Isu Barter Perkara Kasus Century, PD Sebut ICW Berkhayal

Partai Demokrat (PD) menilai pernyataan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menyebut ada barter 7 perkara dengan skandal Century tanpa dasar. PD menyebut ICW berkhayal.

"Saya kira ICW dan orang yang menghembuskan isu itu berkhayal," ujar Sekjen DPP PD Amir Syamsuddin kepada detikcom, Senin (8/3/2010).

Menurut Amir, ICW seharusnya melontarkan pernyataan berdasar fakta bukan opini semata. Jika ada tokoh yang mengamini apa yang disampaikan ICW, menurut Amir, sedang berharap ada barter tersebut.

"Mereka berharap barter itu terjadi," papar Amir.

Amir mengajak semua pihak untuk berhenti menghembuskan isu tidak penting. Masyarakat, menurut Amir, menantikan penuntasan skandal Century yang ditindaklanjuti penegak hukum. "Jangan mencampuri apa yang ditangani aparat penegak hukum," tutup Amir.

Sebelumnya diberitakan, ICW mencium adanya kecenderungan menghentikan kasus Century dengan cara 'barter' perkara. ICW menuding tujuh kasus yang juga melanda fraksi dan anggota Pansus Angket Century bisa menyebabkan rekomendasi Pansus menjadi tawar.

Tujuh kasus ini yakni masalah pajak yang melibatkan Ketua Umum Golkar ARB, dugaaan kasus Inkud oleh Ketua Fraksi Golkar SN yang juga bersangkut paut dengan Ketua Pansus IM, kasus yang melibatkan politisi dari PDIP yg menyeret nama ZEM dimana PPATK menemukan adanya 137 transver valuta asing, kasus L/C fiktif yang dilakukan oleh inisiator pantia angket MIS, kasus pembunuhan HAM Munir yang melibatkan Partai Gerindra, dan ada pula kasus HAM Timtim yang terkait dengan Ketua Umum Hanura.

Sebelumnya Ketua DPP Partai Hanura Yuddy Chrisnandi justru percaya dengan apa yang disampaikan ICW. Yuddy menyebut ada lima parpol yang sedang ditekan oleh pemerintah terkait masalah hukum yang dialami beberapa tokoh central partai tersebut. Sedang Sekjen PDIP Pramono Anung menyatakan, partainya tetap konsisten. Sementara Ketua DPP PG Ade Komarudin menjamin tidak ada barter kasus.

Sementara itu sumber detikcom di DPR menjelaskan bahwa kelima parpol tersebut adalah Golkar, PDIP, PPP, PKS, dan Gerindra. Golkar dijanjikan 'keamanan' bagi pimpinan fraksinya di DPR, PDIP sejumlah anggota DPR yang mulai dilirik KPK, mantan menteri dari PPP yang juga sedang ditangani KPK, dan masalah L/C bodong dari PKS. "Bos Gerindra ada yang bermasalah," jelas sumber tersebut.